Durasi Baca: Hanya 1 Menit
Masih banyak tulisan keliru dalam pembahasan kedudukan kenabian, semisal memandang Nabi sama seperti manusia biasa lainnya.
Bahkan, terdapat berbagai buku dan artikel yang ditulis untuk mengulas dimensi kemanusiaan Nabi Muhammad SAW.
Tidak sedikit sebagian beranggapan Nabi boleh saja berbuat salah atau maksiat. Nabi juga manusia, memang benar.
Sebenarnya jika memahami kedudukan kenabian dengan baik, terutama kedudukan Nabi Muhammad SAW, maka akan jelas bahwa tidak ada satu orang pun umat Islam yang menolak kemanusiaan para Nabi.
Namun, hal yang penting diperhatikan dan diungkap bukanlah ‘sisi kemanusiaan nabi’ melainkan ‘sisi kenabian manusia’.
Nabi juga manusia, tapi bukan manusia biasa
Ungkapan tersebut di atas bermakna bahwa manusia adalah suatu wujud, sementara kenabian merupakan predikat yang dicapai oleh manusia dengan pengendalian seluruh potensinya secara kreatif.
Maka dari itu, jangan sampai salah memberikan penilaian antara manusia yang Nabi dan manusia yang bukan Nabi, bahkan menyamakan derajat kenabian dengan derajat kita sebagai manusia umumnya.
Sebagaimana diutarakan Alquran, orang-orang kafir dahulu juga telah terjebak dalam anggapan Nabi juga manusia seperti ini:
“...mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka, ‘orang ini (Muhammad) tak lain hanyalah seorang manusia seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya’?” (QS Al-Anbiya: 3)
Bila mengulik ayat-ayat Alquran yang membahas soal kemanusiaan Muhammad, maka ayat tersebut menggunakan kata ‘Basyar’ yang lebih menunjukkan sisi biologis manusia.
Bukanlah kata insan atau ‘al-Nas’ yang lebih merujuk pada sisi psikologis (ruhaniah) dan sosiologis. Dari perbedaan semantik tiga kata ini sangatlah jelas, dan akan semakin efektif jika dilakukan penyelidikan linguistik secara lebih akurat terhadap semua kata dalam Alquran yang menggambarkan makna manusia.
Baca Juga:
Misalnya, firman Allah dalam Alquran berikut ini.
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang soleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shaad: 28) dengan ayat berikut, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9)
Bila kita sungguh-sungguh membaca dan memahami koneksi antar ayat tersebut, maka kita tidak akan bingung menempatkan perspektif ‘kenabian’ dan ‘kemanusiaan’ dalam satu sosok.
Allah SWT menunjukkan bahwa ada manusia yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri sehingga tidak akan terjadi lupa, salah, dan maksiat, dalam istilah teologisnya disebut kemaksuman (ishmah).
Sebagai perbandingan cukuplah kiranya membandingkan dengan ungkapan dalam Alquran:
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tersebut tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm: 1-4).
Maka semakin memperkuat kedudukan kenabian, karena ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang menerima wahyu.
Perolehan wahyu bukanlah bisa dilakukan oleh sembarang manusia, melainkan beberapa manusia khusus yang telah mencapai derajat tertentu (kenabian) di sisi Allah.
Jadi, Nabi juga manusia, hanya saja perlu diresapi kalau Beliau telah mencapai prestasi dan predikat tinggi yakni kenabian.
Mendapatkan predikat itu pun butuh perjuangan dan pergumulan manusia dengan faktor internal diri dan eksternal di sekelilingnya.
Tidak pada tempatnya kita menguraikan kondisi dan karakter manusia yang mampu menerima serta menyampaikan wahyu.
Danur K Atsari
A fast learner. Strives to write Islamic based lifestyle and halal culinary. Live more worry less!
Buat Tulisan