Durasi Baca: Hanya 1 Menit
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada saja orang tua yang menyayangi sebagian anaknya lebih dari sebagian yang lain.
Sejatinya tidak masalah bila hal itu hanya sebatas perasaan sayang dalam hati, sebab menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati termasuk sesuatu yang sulit, bahkan di luar kuasa manusia.
Akan tetapi bukan berarti dalam perlakuan atau sikap kita terhadap anak, ya, entah itu dari cara lisan atau pemberian material kepada mereka. Berlaku adil pada anak harus menjadi hal utama yang dilakukan orang tua, sebab mereka adalah amanah Allah SWT.
Berlaku adil pada anak sudah diajarkan Rasul
Adapun dalam perkara pemberian hibah, Islam telah menggariskan bahwa orang tua harus berbuat adil. Apabila salah satu anak diberi, maka yang lain juga harus diberi bagian yang sama. Rasulullah SAW bersabda,
“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi)
Menurut pendapat sebagian Ulama, pemberian hibah ketika orang tua masih hidup ialah dengan membaginya sesuai dengan hukum waris, yakni anak perempuan mendapatkan setengah bagian anak laki-laki.
Sementara sebagian Ulama yang lain berpendapat, bahwa harta yang dihibahkan dibagi rata tanpa membedakan jenis kelamin. Pendapat yang kedua ini lebih kuat, sebab didukung hadits an-Nu’man bin Basyir RA.
Dalam hadits ini Rasulullah mengisyaratkan bahwa keadilan dalam hibah akan membuat anak-anak juga akan adil dalam berbakti. Begitu pun sebaliknya, ketidakadilan bisa menimbulkan kebencian di antara anak-anak kita atau bahkan memicu kebencian kepada orang tua hingga berisiko atas sikap durhaka.
Sebelumnya perlu diketahui, ya, bahwa hibah tidak sama dengan nafkah. Hibah dari orang tua untuk anak diwajibkan adil, tapi lain halnya dalam hal nafkah. Orang tua seharusnya memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Misalnya biaya sekolah anak SD tentu tidak bisa disamakan dengan kakaknya yang sudah kuliah. Begitu pula dengan biaya makan, pengobatan, menikahkan anak, dan lain sebagainya. Beberapa hal itu termasuk nafkah, bukan hibah.
Persoalan berlaku adil pada anak di masa kenabian
Dari an-Nu’man (bin Basyir) RA berkata,
“Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya. Ibu berkata, ‘Saya tidak rela sampai Rasulullah SAW menjadi saksi atas hibah ini.’ Maka ayah membawa saya kepada Rasul dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’ Maka Rasulullah bertanya, ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya’, jawab ayah. Beliau bertanya lagi, ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak. Maka Rasul berkata, ‘Kalau begitu, jangan jadikan aku sebagai saksi, karena aku tidak bersaksi atas kezhaliman.’” (HR. al-Bukhari)
Baca Juga:
Jadi, pada dasarnya hibah haruslah diberikan secara sama rata. Diperbolehkan membedakannya terhadap alasan tertentu, semisal ada anak yang cacat sehingga tidak bisa bekerja, atau sibuk menuntut ilmu sehingga belum bisa bekerja, atau punya banyak anak sehingga gajinya tidak cukup.
Hibah juga tidaklah diberikan kepada anak yang durhaka, atau biasa menggunakan uang untuk bermaksiat. Perlu ada komunikasi yang baik agar hibah tidak menimbulkan masalah.
Jika para anak mengetahui adanya kesalahan orang tua dalam hal ini, ada baiknya anak bisa menyelesaikannya di antara mereka dahulu tanpa melibatkan orang tua.
Sebaiknya pihak yang merasa tak dapat bagiannya sesuai harapan mengalah dan tidak mempermasalahkan pemberian yang lebih untuk saudaranya. Anak yang mendapat hibah lebih banyak pun, hendaknya menolak pemberian dengan halus.
Berlaku adil pada anak adalah pondasi penting orang tua memberikan kasih sayangnya. Anak-anak yang berbakti adalah mereka yang mendapatkan bimbingan terbaik dari sang orang tua.
Danur K Atsari
A fast learner. Strives to write Islamic based lifestyle and halal culinary. Live more worry less!
Buat Tulisan